Citra angkringan memang tak bisa dilepaskan dari kota Jogja. Sejak dulu, angkringan gerobak yang mewarnai di berbagai sudut kota Jogja memang menjadi salah satu ikon Jogja. Kesederhanaan wujud dan makanannya membuat angkringan ini terasa merakyat.

Popularitas menu-menu angkringan membuatnya tidak lagi hadir di dalam suasana yang gelap, yang hanya diterangi nyala lampu api seadanya. Menu-menu ini telah diangkat ke dalam ruang-ruang yang lebih besar dan mewah, di dalam terangnya lampu-lampu elektrik yang tak menyisakan keremangan di dalamnya. Menu-menu yang awalnya seadanya pun berubah. Ia tak lagi seadanya namun apapun ada. Deret nasi kucing yang awalnya hanya berisi nasi-sambal, nasi-oseng tempe, ataupun nasi-oseng kacang panjang pun kini mulai ditemani dengan berbagai isian lainnya seperti nasi-tuna, nasi-kikil, nasi-ati, nasi-rica ayam, dan sebagainya. Balutan bungkusnya yang awalnya hanya berupa koran dan daun pisang pun menjadi lebih rapi dengan kertas penyaji makanan berwarna kecoklatan.

Kemeriahan lauk-pauknya pun membuat menu angkringan tak lagi terlihat sederhana namun juga menjangkau selera berbagai kelas. Mulai dari gorengan atau baceman tahu tempe yang sederhana, sate jamur, sate paru, ataupun sate usus, hingga aneka gorengan masa kini seperti udang tempura maupun nugget menghias deretan lauk-pauk yang disajikan. Menu-menu ini berhasil menangkap kemungkinan-kemungkinan baru dan berbeda meski harus menanggalkan kesederhanaannya. Menu ini membuat siapapun, dari berbagai kelas tak canggung untuk menikmatinya. Mahasiswa yang terbiasa dengan kesederhanaan menu angkringan gerobak masih merasa akrab dengan kehadiran keragaman menu-menu yang ditawarkan meski secara harga tak sebersahabat yang mereka kenal. Sedangkan kelas yang lebih biasa dengan kafe pun tak segan menikmatinya karena ruang, penyajian, serta rasa yang sebenarnya tak jauh berbeda dari kafe. Mereka benar-benar membaur, menikmati lauk demi lauk, dan bungkus demi bungkus nasi yang beraneka rupa. Mereka tenggelam dalam kelezatan makanannya maupun kehangatan obrolan yang menemani santap mereka.

Obrolan semakin seru namun waktu dan menu telah di titik akhir. Semua bergegas merapikan diri, bersiap untuk pulang. Tak lupa mereka melemparkan salam berpamitan, dan mengakhiri malam mereka di Angkringan Gajah, yang terletak di salah satu ruas jalan yang membentang utara-selatan bernama Jl. Kaliurang, Jogja.

Angkringan Gajah

Jl. Kaliurang KM. 9, Jogja

11.00 – 24.00 WIB

Tags : Kuliner, Jogja, Angkringan