Cerita-Cerita dalam Sebuah Gerai Kopi: Journey Coffee
Ada yang berbeda dengan kehadirannya di kota ini sekarang. Setelah memutuskan pindah ke pulau Bali, ia sempat menampakkan dirinya di kota ini beberapa kali namun tak seperti kali ini. Secara penampilan dan hobi, ia memang selalu berubah namun kali ini perubahan itu justru dari sikapnya. Sepertinya ada hal yang ingin ia bicarakan dengan lebih serius.
Ia mengajak saya bertemu dengannya. Seperti biasanya, ia selalu memilih untuk mempercayakan tempat bertemu pada saya. Tempat di Jogja banyak namun tak banyak diantaranya yang belum pernah ia sambangi, baik dengan saya atau mungkin teman masa sekolahnya. Saya mengenalnya sudah cukup lama, tepatnya ketika dunia sedang gandrung pada kamera plastik. Ia pun sempat menjadi bagian dari kehidupan tersebut. Lain dulu, lain pula ia sekarang. Kamera-kamera plastiknya mungkin dah terselip di salah satu ruang, di rumah orang tuanya yang dulu menjadi tempat tinggalnya. Kini posisi kamera-kamera tersebut sepertinya terganti dengan piringan-piringan hitam dan alat pemutarnya. Yup, saat ini ia menjadi seorang pemain piringan hitam yang mengisi malam-malam di pulau Bali. Ia mulai menyukainya beberapa saat setelah dunia melirik kembali pada perangkat musik ini setelah ditinggalkan.
Melihat kegemarannya itu, saya pun memilih untuk mengajaknya ke Journey Coffee, sebuah gerai kopi baru yang juga memiliki piringan-piringan hitam. Ia pun suka, dan semakin bersemangat ketika kami mulai duduk di dalam gerai kopi tersebut. Kami memesan dua kopi, satu cappuccino untuk saya dan satu es kopi susu bernama Psycho Killer untuk dia. Ia pun mulai membuka percakapan tentang rumah kecil yang ingin ia huni. Ia membayangkan dirinya berada di dalam rumah tersebut, bersiasat pada kecilnya ruang yang untuknya membuat dirinya belajar bersiasat pada hidup. Saya menanggapinya dan menanyakan alasannya membahas rumah. Suatu topik yang bisa jadi baru satu-dua kali saya dengar dari mulutnya. Biasanya kehidupannya selalu berputar pada hobi yang sedang ia gemari. Satu hobi ke hobi lainnya. Sampai-sampai saya berpikir bahwa hobinya yang sebenarnya adalah berganti-ganti hobi. Ia pun menjawab bahwa ia baru saja membuat keputusan terbesarnya, yaitu memastikan dirinya untuk tinggal selamanya di Bali. Ia telah mengumpulkan uang yang cukup dan sedang membangun sebuah rumah disana. Ia menyampaikannya tidak seperti perpisahan. Di dalam setiap perkataannya ada sedikit perasaan mengundang untuk mampir ketika nanti sudah tiba waktunya. Berita itu saya sambut dengan ucapan selamat. Ia pun kembali bercerita tentang rencana-rencananya.
Gelas kami telah kosong, dan terganti oleh yang baru namun ceritanya tak berhenti. Ia yang saya temui hari ini bukan ia yang senang berganti-ganti mainan. Kali ini, ia adalah orang yang sedang menata kehidupannya layaknya orang dewasa. Mungkin pulau itu mendewasakannya. Tepat ketika ia selesai bercerita, saat itu pula ia mulai memutuskan untuk mengelilingirak-rak piringan hitam yang sedari tadi seperti menantinya.
*Dua gelas kami berikutnya, “Tonight-Tonight”, dan “A Love Supreme” tandas selepas ia sempat memutar beberapa lagu, dan kemudian membelinya untuk dibawa kembali ke Bali.
Buat toko online cuma 20 detik! Hanya Rp 99ribu/bulan. Coba sekarang GRATIS 15 hari. Kunjungi Jejualan Jasa Pembuatan Toko Online.
Cerita-Cerita dalam Sebuah Gerai Kopi: Journey Coffee
(Dito/DISKON.com)
Lokasi:
Nama Resto : Journey Coffee
Alamat :Jl. Komp. Colombo, Mrican
Harga Per Porsi makan dan minum : Rp 28.000,-
Jam Operasional : 11.00 – 24.00 WIB
Rating :
Latitude: | Longitude: |
Tags : Kuliner, Jogja, Kopi, Coffee, Nongkrong, Es kopi susu, single origin
Komentari kuliner ini