Di sebuah sore yang cerah, saya bersama pasangan saya memutuskan untuk berkeliling kota menggunakan motor. Untuk saya, perjalanan sore ini adalah perjalan mencari tempat makan malam kami nantinya. Untuknya, perjalanan ini adalah untuk menghargai dan menikmati hari-hari cerah yang akan berakhir seiring bergantinya musim.

Hari menjelang berganti. Lampu-lampu jalan yang sebelumnya mati pun memancarkan cahaya kekuningan. Kami berjalan menghadap ke barat, dimana matahari berlahan tapi pasti mulai menghilang. Lampu-lampu rumah pun menyala mengiringi bergantinya terang menuju gelap. Sebuah gerai mungil tertangkap di ujung mata saya. Pasangan saya yang duduk di belakang saya pun menyadari keberadaan gerai mungil tersebut. Dari penjelasannya, gerai itu adalah gerai kopi yang mungkin menarik untuk dicoba. Saya pun membalasnya dengan ajakan untuk mendatanginya saat ini. Ia pun menyetujuinya, dan saya pun memutar arah untuk kembali menuju gerai bernama Mudita tersebut.

Kami masuk ke dalam bangunan yang terbuat dari semacam kontainer tersebut. Ia menggemari kopi, dan ia terkejut ketika melihat adanya biji kopi Panama Geisha di gerai itu. Meski mahal, rasa penasaran telah menyelimuti isi kepalanya. Ia memutuskan untuk tetap memesannya. Saya, yang bukan penggemar kopi memutuskan memesan teh yang konon katanya memiliki sentuhan rasa pisang. Kopi selalu membuatnya antusias, sedangkan saya, hanya berkutat dengan rasa pisang. Entah itu susu pisang ataupun teh pisang, yang terpenting untuk saya adalah rasa pisangnya. Saya pun mulai menanyakan apa yang membuatnya tertarik pada biji kopi Panama Geisha ini. Sebelum ia menjelaskannya lebih jauh, ia memulainya dengan penjelasan bagaimanaia menikmati kopi yang untuknya mungkin bisa disamakan dengan cara menikmati wine. Dimulai dari tempat asalh kopi tersebut berada, proses pemanggangan, hingga akhirnya karakter rasa yang dikeluarkan semuanya penting. Untuknya mencicipi biji yang berkualitas adalah obsesinya, dan konon katanya Panama Geisha ini kerap disebut-sebut sebagai biji kopi terbaik secara rasa. Saya hanya mengangguk dengan sesekali meminum teh pesanan saya yang terbukti memilliki sedikit memiliki aroma manisnya pisang. Ia pun melanjutkan penjelasannya yang mungkin hanya saya pahami sepatah-patah. Saya tak terlalu menggemari kopi, begitu pula saya tak mengetahui apapun tentang varian biji kopi. Untuk saya kopi yang paling mungkin saya nikmati adalah kopi susu karena saya lebih menggemari susu.

Untuknya, kopi dengan susu adalah pilihan namun kopi hitam adalah keharusan. Saya tak tahu dari mana ia mendapatkan militansi ini namun sepertinya hal ini bukan sesuatu yang perlu saya pikirkan. Sejauh yag saya tahu, ia memang menikmati kedalaman rasa dari kopi, bukan sebatas pada rasa pahitnya saja. Untuknya kedalaman rasa jauh berbeda dengan rasa pahit yang datar. Rasa pahit yang datar tak akan memuaskannya, dan biasanya rasa pahit yang datar ini hanya dipakai sebagai ajang pamer seseorang untuk membuktikan dirinya tahan banting saja. Untuknya, tak ada yang menariknya jika rasa kopi hanya digunakan untuk mendifinisikan kekuatan, maskulinitas, dan hal-hal serupa lainnya.

*Ia bercerita tentang obsesinya pada kopi layaknya penceramah di depan mimbar. Saya, hanyalah pendengar yang memperhatikan namun tetap berpegang teguh pada teh beraroma pisang di tangan kanan, dan es kopi susu di tangan yang satunya.

Tags : Kuliner, Jogja, Kopi, Coffee, Nongkrong, Es kopi susu, single origin