Cerita-Cerita dalam Sebuah Gerai Kopi: Paperplane Coffee
Sejak dua minggu yang lalu, seorang teman saya memutuskan untuk tinggal sementara bersama saya untuk jangka waktu tiga minggu sampai satu bulan. Ia belum memutuskan dengan pasti. Hari-harinya disibukkan dengan urusannya mengerjakan sebuah proyek kesenian yang sedang berlangsung di Jogja.
Suatu malam yang cukup senggang, saya menanyainya tentang proyek seperti apa yang sedang ia kerjakan di Jogja. Hari-harinya lebih banyak di luar rumah, begitu juga saya. Waktu keberadaan kami di rumah secara bersamaan memang terbilang jarang terjadi, dan malam ini adalah salah satunya. Ia bersedia hanya saja ia meminta imbalan yaitu dengan mengajaknya mengunjungi gerai kopi. Sesuatu yang menurut pengakuannya sebagai sesuatu yang ia rindukan akibat terlalu banyak bergumul dengan kesenian selama dua minggu ini. Saya pun menyetujuinya, dan kami pun melajukan kendaraan menuju gerai bernama Paperplane Coffee. Teman saya tersebut cukup senang karena untuknya gerai ini cukup seperti yang ia inginkan. Intim dan sepi. Dari balik kaca depannya, seorang perempuan yang tampak seperti mahasiswa pertukaran dari Jepang tampak duduk sendiri. Sesekali barista yang berjaga tampak mencoba membuka percakapan seadanya. Bahasa menjadi batas yang membuat obrolan itu tampak dingin dan kerap terputus.
Kami memilih duduk di dekat kaca yang memisahkan luar dan dalam gerai kopi tersebut. Tak lama setelah kami duduk, saya kembali menanyakan pertanyaan yang sama sebelumnya. Dari mulutnya, ia mulai bercerita dengan perlahan. Ia memulainya dengan perjalanan yang baru saja ia lakukan selama 11 hari menyusuri pantai utara Jakarta. Ia melakukan perjalanan yang ia sebut sebagai ziarah. Ia meniti titik yang berhadapan dengan laut itu dengan menumpang tinggal di beberapa titik, mulai dari menumpang di rumah teman di salah satu hunian vertical yang cukup mewah hingga membangun tenda di pinggir pantai pun ia lakukan. Ia meniti setapak demi setapak layaknya orang yang sedang membuat sebuah peta pada ruang yang tak terjamah. Cerita demi cerita ia kumpulkan sebagai pelengkap perjalanannya yang untuk saya terasa begitu lambat dan puitis. Kehidupan area pesisir yang konon terkenal keras tampak begitu lunak ketika dikeluarkan dari mulutnya. Tak ada hal besar yang ia bayangkan akan muncul dari perjalanan ini.
Dari ceritanya, sampai saat ini ia hanya mengumpulkan kepingan-kepingan cerita layaknya para nelayan kerang yang menumpuk kulit kerangnya hingga memenuhi kubangan air yang ada di area Jakarta Utara tersebut. Tak ada yang diburu dan tak perlu pula diburu-buru. Cerita-cerita ini untuknya bisa menjadi sesuatu namun di saat yang sama bisa hanya menjadi sebatas cerita yang perlu dikumpulkan, agar kemudian dapat diceritakan kembali, turun-temurun. Cerita-cerita tentang mempertahankan rumah, dari orang yang lebih kuasa ataupun dari kuasa alam yang menenggelamkan rumah mereka sedikit demi sedikit.
*Tampaknya apa yang ia ceritakan itulah yang membuatnya berada di Jogja selama ini. Mungkin ia akan menceritakan pengalamannya saja, atau mungkin saja ia menghubungkan keberadaan di selatan Jogja dengan apa yang ia temui di Jakarta. Hal yang pasti, sepanjang ia bercerita, saya begitu menikmati keteraturannya sembari sesekali menikmati sepotong croissant, fried enoki, ataupun sekedar menyeruput cappuccino di hadapan saya.
Buat toko online cuma 20 detik! Hanya Rp 99ribu/bulan. Coba sekarang GRATIS 15 hari. Kunjungi Jejualan Jasa Pembuatan Toko Online.
Cerita-Cerita dalam Sebuah Gerai Kopi: Paperplane Coffee
(Dito/DISKON.com)
Lokasi:
Nama Resto : Paperplane Coffee
Alamat :Jl. Pringgodani, Mrican, Jogja
Harga Per Porsi makan dan minum : Rp 25.000,-
Jam Operasional : 09.00 – 23.00 WIB
Rating :
Latitude: | Longitude: |
Tags : Kuliner, Jogja, Kopi, Coffee, Nongkrong, Es Kopi Susu, Cappuccino
Komentari kuliner ini