Cerita-Cerita dalam Sebuah Gerai Kopi: Culture Head
Seorang teman mengajak bertemu di waktu jeda makan siang. Ia adalah seorang perantau yang tinggal di kota ini sejak delapan tahun yang lalu. Kami saling mengenal belum terlalu lama namun diantara orang yang saya kenal tiga tahun belakangan, ia adalah satu dari sedikit yang cukup akrab.
Ia memutuskan jalan hidupnya menjadi seorang seniman. Bukan pelukis, bukan pula penyanyi atau aktor. Seniman yang menurutnya bisa menggunakan media apapun. Meski ia seolah-olah dapat menjelma menjadi apapun namun ia paling dekat dengan medium foto maupun gambar gerak. Kami bertemu di sebuah gerai kopi bernama Culture Head. Terdengar sangat anak muda dan maskulin. Kami tiba dibangunan bernuansa kehitaman, dan sedikit remang meski matahari sedang terang-terangnya. Kami pun duduk di salah satu sofa yang membelakangi bar. Sebelum duduk, saya telah memesan menu yang untuk saya terasa maskulin, yaitu seporsi burger hitam, dan secangkir flat white.
Kami duduk dan memulai obrolan basa-basi seputar kesibukan kami. Tak ada yang istimewa dari kesibukan saya. Berbeda jauh dengan saya, ia memiliki kesibukan yang menarik. Ia sedang mempersiapkan sebuah pameran tunggalnya di sebuah ruang seni kecil, di pusat kota Jogja. Dari mulutnya mengalir cerita tentang kebingungannya tentang kota yang mendadak sibuk. Ia melihat detil perubahan di setiap perjalanan yang dilaluinya hampir setiap hari. Semua sudut berubah, baik utara maupun selatan. Perubahan ini semua terasa cepat, dan jalanan pun bertambah liar. Semua itu membuatnya merasa lambat meski ia tak melambat.
Ia pun bahkan bercerita bagaimana ia menjadi saksi gedung yang kini menjadi gerai kopi kami bertemu ini berubah dari waktu ke waktu. Dari gedung kosong yang dapat berfungsi sebagai ruang pamer mahasiswa, berubah menjadi gerai kopi, kemudian berubah lagi menjadi sebuah toko baju kekinian, kosong, dan kini menjadi gerai kopi lagi. Ia mengalami tiap perubahan itu, dan ia merasa bingung antara menikmati maupun merasa terancam. Ia menjauh dari kota asalnya yang sudah telanjur menjadi kota yang padat dan tidak terkontrol, dan kini ia menjumpai gelagat ketelanjuran itu di Jogja. Semua kegelisahannya inilah yang kemudian dituangkannya dalam pameran tunggalnya yang akan datang. Ia ingin mengurai pikirannya, memberi jarak, dan bukan tidak mungkin ia akan membuat keputusan besar selepas pameran tersebut. Siapa yang tahu. Toh ia sudah berulang kali mengambil keputusan besar, jadi tidak susah untuknya memikirkan ulang kehidupannya selepas berpameran tunggal berikutnya.
*Gigitan demi gigitan burger berwarna hitam, serta tegukan demi tegukan kopi yang pekat menemani saya menjelajahi setiap kalimat yang mengalir dari teman saya, seorang seniman lintas disiplin ilmu. Sesuatu yang mungkin tidak saya pahami sebelumnya, atau setidaknya sebelum saya bertemu dengannya tiga tahun yang lalu.
Buat toko online cuma 20 detik! Hanya Rp 99ribu/bulan. Coba sekarang GRATIS 15 hari. Kunjungi Jejualan Jasa Pembuatan Toko Online.
Cerita-Cerita dalam Sebuah Gerai Kopi: Culture Head
(Dito/DISKON.com)
Lokasi:
Nama Resto : Culturehead
Alamat :Jl. Kaliurang KM. 5, Pandega Karya, Jogja
Harga Per Porsi makan dan minum : Rp 40.000,-
Jam Operasional : 08.00 – 24.00 WIB
Rating :
Latitude: | Longitude: |
Tags : Kuliner, Jogja, Kopi, Coffee, Nongkrong, Burger, Pasta, Flat White
Komentari kuliner ini