Cerita-Cerita dalam Sebuah Gerai Kopi: Eternity
“Aku tidak pernah merasakan seberat ini untuk berpisah dengan sebuah rumah. Aku pernah meninggali beberapa rumah sebelumnya namun baru rumah ini, yang aku tinggali selama delapan tahun ini lah yang paling berat aku tinggalkan”, ujar seorang teman di suatu malam, di sebuah gerai kopi baru bernama Eternity.
Ia adalah teman lama saya, teman semasa kuliah saya. Teman yang sempat mengajak saya mengontrak rumah ketika kami masih duduk di bangku kuliah. Saat itu, kami mengurungkan niat karena kami sama-sama bukan mahasiswa perantauan. Kami mengurungkan niat karena kami merasa jika keputusan mengontrak rumah saat itu terdengar seperti keputusan dewasa namun setelah kami pikirkan lebih dalam, itu hanya keputusan sok dewasa untuk kami yang hanya ingin memiliki waktu bermain lebih banyak. Tanpa memikirkan kewajiban dan tetek-bengek lainnya yang perlu dipersiapkan. Setelah kami lulus, kami masih berada di Jogja. Di saat itu lah kami berdua memutuskan untuk mengontrak rumah namun tidak bersama-sama seperti bayangan ketika kami kuliah dahulu.
Pekerjaannya yang berada di pinggiran barat kota Jogja membuatnya harus mengontrak di area yang tak terlalu jauh dari area tersebut. Waktu, energi, dan ekonomi lah yang memicu ia harus mendekat ke lokasi kerjanya. Setelah delapan tahun bekerja dan tinggal di area tersebut, ia memutuskan untuk pindah. Ia tidak harus berpindah kerja atau pun rumah namun ia merasa harus melakukan itu semua. Keputusan besar itu ia persiapkan selama setahun meski rupanya waktu satu tahun tidaklah cukup untuk benar-benar membuatnya tak bersedih ketika waktu perpisahan itu tiba. Keputusannya terdengar sangat intuitif namun bukan berarti tanpa pertimbangan. Dari penjelasannya, ia memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya, rumah dimana ia pernah tinggal sebelumnya. Keputusannya sesaat terdengar seperti langkah mundur namun keinginannya untuk mengejar sesuatu yang lebih besar dan panjang membuat langkah mundur itu sebagai sesuatu yang bersifat sementara. Mundur sesaat untuk kemudian melesat.
Ia tidak menjelaskan lebih detil tentang apa yang ia kejar dan bagaimana ia mempersiapkan kehidupan berikutnya. Namun raut muka dan suaranya berhasil membuat saya yakin dengan segala keputusan yang dibuatnya. Kesedihannya untuk meninggalkan apa yang telah dikerjakan selama delapan tahun memang masuk akal namun di antara nada kesedihan yang hadir di setiap katanya, kerap terdengar nada penuh harap atas apa yang akan dihadapinya di waktu yang akan datang. Untuk saya, butuh keberanian untuk melakukan apa yang menjadi pilihannya saat ini. Saya, masih memilih untuk berada di bilik saya, di dalam kantor, dalam jangka waktu yang belum berani saya tentukan.
*Untuk sedikit menceriakan obrolan kami yang terbilang cukup intense tersebut, kami coba meringankannya dengan segelas Stairway to Heaven, es kopi susu gula aren yang menjadi favoritnya, Cappuccino, seporsi kentang goreng, dan roti bakar. Menu-menu yang akrab, dan merupakan comfort food kami.
Eternity Coffee
Jl. Babarsari, Jogja
09.00 – 24.00 WIB
Buat toko online cuma 20 detik! Hanya Rp 99ribu/bulan. Coba sekarang GRATIS 15 hari. Kunjungi Jejualan Jasa Pembuatan Toko Online.
Cerita-Cerita dalam Sebuah Gerai Kopi: Eternity
(Dito/DISKON.com)
Lokasi:
Nama Resto : Eternity Coffee
Alamat :Jl. Babarsari, Jogja
Harga Per Porsi makan dan minum : Rp 30.000,-
Jam Operasional : 09.00 – 24.00 WIB
Rating :
Latitude: | Longitude: |
Tags : Kuliner, Jogja, Kopi, Coffee, Nongkrong, Es kopi susu, single origin
Komentari kuliner ini