Cerita-Cerita dalam Sebuah Gerai Kopi: Hitam Kopi
Seorang teman menyapa dari kejauhan. Ia melambaikan dari ujung koridor yang mengarah ke sebuah ruang besar, yang sedang digunakan untuk berpameran. Kami tak sengaja bertemu di pameran tersebut. Saya baru saja selesai menyaksikan pameran tersebut, dan ia baru memulainya. Setelah bertegur sapa sesaat, kami memutuskan untuk melanjutkan pertemuan kami di sebuah gerai kopi bernama Hitam, tak jauh dari lokasi pameran tersebut. Saya menunggunya hingga ia selesai menyaksikan pameran tersebut, dan kami pun berangkat bersama.
Setibanya di gerai kopi tersebut, kami langsung memesan. Satu gelas es kopi hitam bercita rasa jeruk, satu es kopi susu, dan satu Thai tea hangat menemani pertemuan kami yang pertama di tahun ini. Meski tinggal satu kota namun kesibukan membangun jarak diantara kami. Kami tak sempat mengobrol seperti beberapa tahun yang lalu. Seperti basa-basi pada umumnya, saya bertanya tentang kabar dan kesibukannya. Rupanya ia sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti sebuah program residensi di salah satu pulau di area timur Indonesia. Rencana itu terdengar sangat menyenangkan, dan sempat membuat saya iri. Maklum, pekerjaan kantoran membuat saya sedikit terjebak di dalam kota ini. Masih dalam rangka menjawab pertanyaan saya, ia menjelaskan program yang akan dilakukannya selama berada di pulau tersebut. Setelah ia selesai menceritakan rencananya, tiba-tiba ia bercerita tentang apa yang ia rasakan ketika melihat pameran yang baru saja kami datangi. Ia menyukai sebuah karya yang menurutnya melibatkan cerita-cerita dari orang banyak.
Sebagai seniman, ia merasa kesulitan untuk melakukan hal-hal seperti itu. Ia merasa perkataannya selalu membingungkan, dan sering terdengar kurang jelas.Saya tak tahu apapun tentang kerja-kerja seniman meski saya baru saja menyaksikan sebuah pameran seni rupa. Saya datang hanya untuk menikmatinya sekenanya saja. Tak pernah saya memperhatikan hal-hal yang diperhatikan oleh teman saya yang kebetulan berprofesi sebagai seniman tersebut. Saya senang mendengar ceritanya, ketidak-mampuannya untuk melakukan wawancara. Untuk saya, mendengarkan hal ini adalah bagian dari mencoba memahami seni, sesuatu yang sejak dulu tidak pernah saya pahami. Ini merupakan kesempatan saya untuk bertanya tentang cara ia sebagai seniman bekerja. Ia merasa lebih nyaman membaca ketimbang berinteraksi langsung. Pilihan ini bisa dibilang serupa dengan saya yang cenderung membatasi berinteraksi dengan orang lain meski pekerjaan saya mengharuskan saya berinteraksi terus-menerus.
Medengar bagaimana seniman bekerja membuat saya tersadar jika banyak kemiripan dengan pekerjaan-pekerjaan lain pada umumnya. Mungkin selama ini saya merasa berjarak dengan kerja-kerja seniman dan kesenian justru karena ketidaktahuan saya tentang hal-hal tersebut. Mungkin yang diperlukan adalah saling mengenal, yang nantinya akan membangun sebuah jembatan untuk saling memahami.
*Sedikitnya membutuhkan satu kopi segar nan kuat bercita rasa jeruk, dan segelas es kopi susu untuk saya kemudian dapat sedikit memahami seni dari teman saya tersebut. Tak lupa seporsi churros yang nyaris saya habiskan sendiri demi mendengarkan cerita-cerita kesenian teman saya yang menarik dan tak ada hentinya tersebut.
Hitam Kopi
Jl. Cik Di Tiro, Jogja
11.00 – 23.00 WIB
Buat toko online cuma 20 detik! Hanya Rp 99ribu/bulan. Coba sekarang GRATIS 15 hari. Kunjungi Jejualan Jasa Pembuatan Toko Online.
Cerita-Cerita dalam Sebuah Gerai Kopi: Hitam Kopi
(Dito/DISKON.com)
Lokasi:
Nama Resto : Hitam Kopi
Alamat :Jl. Cik Di Tiro, Jogja
Harga Per Porsi makan dan minum : Rp 25.000,-
Jam Operasional : 11.00 – 23.00 WIB
Rating :
Latitude: | Longitude: |
Tags : Kuliner, Jogja, Nongkrong, Kopi, Coffee, Manual Brew
Komentari kuliner ini