Cerita-Cerita dalam Sebuah Gerai Kopi: Rumah Kopi 59
Saya, bersama dua orang teman lain kelelahan selepas menghadapi keriuhan pesta yang nyaris tak berujung. Tamu datang tak berhenti meski waktu yang telah ditetapkan di dalam undangannya telah berakhir. Mereka yang datang terlambat tak berhitung waktu dengan cermat. Sang tuan rumah pun menutup pintu rumahnya. Ia tak menyuruh pulang para tamunya namun mempersilahkan untuk bersantai di halaman depan meski pintu rumahnya telah tertutup.
Kami terduduk di sudut sebuah gerai kopi, membicarakan hal-hal kerumah-tangga-an, yang terdengar sederhana namun menguras pikiran. Satu dari dua orang yang bersama saya malam tersebut adalah sang tuan rumah, yang melarikan diri selepas mengunci semua pintu dan jendela, dan meninggalkan tamu-tamunya menghabiskan malam di halaman depan rumahnya. Sang tuan rumah memilih untuk pergi dari rumahnya. Meninggalkan sisa-sisa pesta yang tercecer di seluruh ruang rumahnya. Ia belum siap untuk mengambil kendali atas ruang-ruang di rumahnya. Ia pun mendadak berceloteh tentang ruang-ruang di dalam rumahnya, dan bagaimana ia mengingat rumah orangtua yang sempat ditinggalinya selama 25 tahun. Cerita bergulir, kelelahan pun mewujud dalam kalimat-kalimat yang penuh dengan curahan hati.
Teman yang satunya bercerita tentang ketiadaan ruang untuknya di sederet ruang kosong di dalam rumahnya. Ruang-ruang kosong tersebut tak diberi makna ataupun fungsi. Ia tak dibiarkan menjadi apa-apa, dan tak dibiarkan untuk dimasuki meski tak ada satu kekurangan dari ruang tersebut. Untuknya ruang-ruang ini memang berfungsi untuk menjadi kosong, dan ia yang tak memiliki ruang pun merasakan kesia-siaan. Ruang kosong hanya menjadi perantara kuasa dengan sederet pesan yang mungkin hanya terbaca sebagai sesuatu yang sia-sia. “Setiap ruang memiliki penguasanya, dan setiap rumah memiliki penguasanya. Ketika ruang tersebut dibiarkan kosong, mungkin penguasa rumah sedang memberikan hukuman pada penguansa ruang, yang berada di bawah kuasanya,” tanggapan teman saya lainnya dengan sedikit berputar.
Ia yang paling tua diantara kami, ia yang menyadari adanya konsep rumah tinggal sebagai ruang politik. Ia membaca detil seluruh gestur di dalam rumah tinggalnya. Ia pun mengatur energi dalam memerankan dirinya ketika menjadi tuan rumah, ataupun menjadi lainnya. Untuk itu, ia memutuskan keluar dari rumah orang tuanya, dan membangun ruang politik dibawah kendalinya. Sesuatu yang untuknya membuat dirinya nyaman, khususnya ketika umurnya sudah tak lagi muda.
*Pembicaraan ini tak sesuai dengan tujuan awal untuk menghilangkan kelelahan. Pembicaraan ini menjadi terlalu intens meski sesekali sepotong roti bakar dengan selai Earl Grey Tea berhasil menahan hasrat untuk bertanya ataupun berkomentar.
Buat toko online cuma 20 detik! Hanya Rp 99ribu/bulan. Coba sekarang GRATIS 15 hari. Kunjungi Jejualan Jasa Pembuatan Toko Online.
Cerita-Cerita dalam Sebuah Gerai Kopi: Rumah Kopi 59
(Dito/DISKON.com)
Lokasi:
Nama Resto : Kedai Kopi 59
Alamat :Jl. Gayam, No. 59, Jogja
Harga Per Porsi makan dan minum : Rp 20.000,-
Jam Operasional : 16.00 – 24.00 WIB
Rating :
Latitude: | Longitude: |
Tags : Kuliner, Jogja, Kopi, Coffee, Nongkrong, Roti Bakar
Komentari kuliner ini