Cerita-Cerita dalam Sebuah Gerai Kopi: KHMA
Pagi hari datang selayaknya ia datang setiap hari. Tak terlalu cepat, tak terlambat pula. Berbeda dengan kesetiaan matahari yang selalu terbit dalam waktu yang nyaris selalu sama, manusia tidak. Kadang ia terbangun ketika matahari nyaris terbit, kadang pula ia terbangun ketika matahari sudah memancar dengan kuat. Saya tidak setia, dan lebih parahnya saya kurang komitmen. Saya terbangun jauh setelah matahari terbit, dan hanya 15 menit sebelum waktu janjian saya dengan seorang teman yang akan merantau.
Saya langsung menyambar telepon genggam, dan langsung meminta maaf karena dengan terpaksa saya harus datang terlambat. Dengan setengah berlari, saya menuju kamar mandi untuk mempersiapkan diri seadanya. Saya membutuhkan waktu sekitar 20 menit hingga saya berangkat menuju sebuah gerai kopi bernama KHMA dimana seorang teman telah menanti kehadiran saya. setelah sekitar 10-15 menit perjalanan, saya pun tiba. Dari kaca luar, saya bisa melihat teman saya sedang duduk menatap notesnya sembari sesekali menulis. Saya masuk diiringi suara pintu dan sapaan dari seorang pria yang berjaga di balik bar. Saya langsung menuju teman saya tersebut, dan ia pun memaklumi keterlambatan saya. Setelah memesan segelas Cascara dan duduk dengan lebih tenang, ia menunjukkan catatan di dalam notes-nya. Pada lembar yang ia tunjukkan, terbaca oleh saya beberapa pertanyaan tentang keputusannya untuk merantau. Saya tidak tahu apakah ia sedang meyakinkan diri atas keputusannya atau sedang ingin membagi ceritanya pada saya.
“Apakah kamu benar-benar perlu merantau?” kira-kira begitulah salah satu pertanyaan yang terbaca di halaman tersebut. Setelah menunjukkannya pada saya, ia pun menanyakan pendapat saya. Pertanyaan pada saya itu rupanya adalah pembuka dari serangkaian cerita bagaimana perasaannya selama tinggal di Jogja dan perasaannya tentang menjadi dewasa. Di dalam kalimat-kalimat yang meluncur dari mulutnya, ia tak sepenuhnya yakin meninggalkan kota ini namun ia menyebut keputusan yang ia ambil ini sebagai keputusannya yang paling dewasa. Ia tidak bilang bahwa keputusan seseorang yang tak merantau adalah keputusan kurang dewasa namun ia melihat pilihannya untuk merantau adalah keputusannya untuk selesai mengejar apa yang menyenangkan untuknya. Kini, ia memilih apa yang paling realistis untuknya.
Sesekali, di tengah-tengah cerita ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan lagi, tentang pulang, tentang apa yang membuatnya mudah untuk meninggalkan kota ini, hingga opsi-opsi lain yang memungkinkan untuk ia jalani jika ia tak merantau. Ia mencoba mencoba melihat kemungkinan-kemungkinan dari hal-hal yang sebenarnya tak ia pilih. Ia sedang meyakinkan dirinya sendiri, dan ia seperti ingin memastikan pada saya bahwa pilihannya benar. Sedangkan saya, mencoba setia mendengarkannya sembari meminum cascara, kulit biji kopi yang direbus bersama madu sembari memastikan jika pilihan yang telah diambilnya adalah yang terbaik.
*Obrolan panjang pagi itu tidak hanya membuat kami selalu menambah waktu untuk bersama namun diiringi dengan gelas-gelas kopi yang bertambah. Mulai dari satu cangkir cascara hingga bertambah satu cangkir cappuccino, V60, dan matcha latte. Pagi yang panjang dan cukup berat sebelum ia berpindah dari kota yang sudah 10 tahun ia tinggali.
Buat toko online cuma 20 detik! Hanya Rp 99ribu/bulan. Coba sekarang GRATIS 15 hari. Kunjungi Jejualan Jasa Pembuatan Toko Online.
Cerita-Cerita dalam Sebuah Gerai Kopi: KHMA
(Dito/DISKON.com)
Lokasi:
Nama Resto : Khma
Alamat :Jl. Sekar Dwijan, Jogja
Harga Per Porsi makan dan minum : Rp 20.000,-
Jam Operasional : 09.00 – 23.00 WIB
Rating :
Latitude: | Longitude: |
Tags : Kuliner, Jogja, Kopi, Coffee, Nongkrong, Es kopi susu, single origin
Komentari kuliner ini